Aceh Peringkat 7 Nasional Kasus Stunting -->

Header Menu

Aceh Peringkat 7 Nasional Kasus Stunting

Sunday, October 29, 2017

Banda Aceh – Anak Aceh harus mendapatkan perhatian dan penanganan lebih khusus karena tingginya angka kurang gizi, stunting dan angka kematian bayi. Oleh karena itu, simposium nasional dokter anak 2017 yang yang diselenggarakan di Aceh adalah momentum strategis untuk berkontribusi lebih besar dalam membantu Pemerintah Aceh menemukan solusi atas sejumlah permasalahan tersebut.

Penegasan tersebut disampaikan oleh Wakil Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah MT, kepada awak media usai memberikan sambutan sekaligus membuka Simposium Nasional Ikatan Dokter Anak Indonesia 2017 di Grand Nanggroe Hotel, Sabtu (28/10/2017).
Sementara itu, dalam sambutannya, Wagub mengungkapkan, sebagai daerah yang memiliki predikat otonomi khusus, Aceh mendapat sejumlah keistimewaan dalam menjalankan pemerintahannya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Keistimewaan itu, antara lain menyangkut sistem ekonomi, hukum adat, pemberlakuan Syariat Islam, sistem bagi hasil Migas, pendidikan dan juga kesehatan.
Khusus untuk bidang kesehatan, keistimewaan itu dijabarkan dalam empat poin utama, yaitu setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
“Merujuk kebijakan itu, maka lahirlah Qanun Nomor 4 tahun 2010 tentang Kesehatan yang selanjutnya menjadi pijakan dalam menerapkan Program Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKA), yaitu pemberian asuransi kesehatan gratis kepada rakyat Aceh,” ujar Wagub.
Untuk menjalankan program JKA ini, setiap tahunnya Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran rata-rata Rp450 miliar. Setelah JKA diadopsi secara nasional dan hadirnya hadir program Jaminan Kesehatan Nasional, Program JKA melebur dalam program BPJS Kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia.
“Ke depan kita akan terus mengupayakan agar pelayanan kesehatan di Aceh bisa terus meningkat. Program kesehatan ini perlu kami tingkatkan mengingat kualitas kesehatan rakyat Aceh masih relatif belum memuaskan. Kondisi itu dapat dilihat dari berbagai penyakit yang melanda anak-anak Aceh,” kata Nova.
Wagub mencontohkan kasus stunting yang disebabkan faktor kekurangan gizi penyebab tubuh pendek pada anak, prevalensinya di Aceh cukup tinggi. Data Riset Kesehatan tahun 2015 menempatkan Aceh pada urutan ke tujuh di Indonesia dengan prevalensi stunting sebesar 38,9 persen.
Tidak hanya stunting, angka penderita thalassemia juga cukup tinggi di Aceh. Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menyebutkan, persentase thalassemia di Aceh mencapai 13,4 persen atau lebih tinggi dari Jakarta, yaitu 12,3 persen. Penelitian juga membuktikan, dari sekitar 5 juta penduduk Aceh, terdapat 5 sampai 10 persen frekuensi carrier untuk penyakit thalassemia ini.
“Ini artinya, dengan angka kelahiran 20 persen per tahun, akan lahir bayi dengan thalassemia sebanyak 50 orang. Demikian juga untuk penyakit-penyakit umum lainnya. Jika tidak ditangani dengan cepat, maka dapat dipastikan generasi masa depan Aceh akan menjadi generasi yang kurang berkualitas,” imbuh Nova.
Menurut Wagub, data yang ada saat ini adalah bukti bahwa masalah kesehatan anak di Aceh sangat membutuhkan penanganan yang intensif.
“Untuk mengantisipasi kondisi ini, sangatlah tepat kalau IDAI dapat memberi perhatiannya bagi penanganan kesehatan anak-anak di daerah kami ini. Walaupun simposium ini sifatnya nasional, kami berharap persoalan kesehatan anak Aceh juga dapat dibahas agar kami mendapat masukan dalam mendukung program pembangunan kesehatan anak di Bumi Serambi Mekah ini,” tambah Wagub.
“Semoga pertemuan ini berjalan sukses dan melahirkan rekomendasi terbaik dalam memperkuat pembangunan kesehatan anak Indonesia. Terimakasih saya ucapkan kepada Pengurus Pusat IDAI yang telah memilih Aceh sebagai tuan rumah untuk kegiatan Simposium kali ini,” punggkas Wakil Gubernur Aceh. (*)