Terkait pemberitaan media
bahwa Gubernur Aceh secara resmi mencabut Izin Usaha Usaha Industri Primer
Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) Sawmill Hakim Meriah di Kabupaten Bener Meriah
melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522/19/2018 tertanggal 25 Januari 2018,
dibenarkan Mulyadi Nurdin, Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Aceh, kami
selaku pengelola Sawmill Hakim Meriah sampai saat ini belum menerima salinan
dari Keputusan Gubernur Aceh tersebut.
kami merasa perlu mengklarifikasi dan menanggapi beberapa hal.
Sawmill Hakim Meriah adalah
usaha Perseorangan/Pribadi, bukan berbentuk badan usaha CV ataupun PT. Pendirian
usaha sawmill ini dilatarbelakangi keprihatinan terhadap fakta bahwa saat itu
(Tahun 2015) di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah tidak ada sawmill yang
beroperasi, sehingga patut diduga bahwa kayu yang beredar di pasar berasal dari
sumber yang tidak jelas dan tidak tertutup kemungkinan berasal dari hasil
praktik pembalakan liar.
Dalam kondisi
sulitnya pemenuhan kebutuhan kayu lokal saat itu di manfaatkan oleh Uknum
tertentu, kami sebagai putra daerah merasa terpanggil untuk ikut berinvestasi,
kami tidak mau menjadi penonton di kampung halaman sendiri, kami juga berupaya
menciptakan lapangan kerja, serta memberi solusi dan mengambil peran dalam
pemenuhan kebutuhan kayu lokal secara legal melalui pendirian sawmill tanpa
harus ada perusahaan Asing. Untuk
mendukung kegiatan usaha tersebut, kami melakukan kontrak kerjasama pemenuhan
bahan baku dengan H. Mansyur (almarhum) sebagai pemilik lahan (hutan hak) ± 80
Hektar di Kampung Blang Panu Kecamatan Syiah Utama, serta H. Mansyur Sudah
melakukan kewajiban untuk membayar Hak Negara melalui pembayaran Provisi Sumber
Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Lahan tersebut
diperuntukkan untuk pertanian dan perkebunan, sudah ada pemukiman masyarakat, sekitar
± 13 hektar lahan sudah di tanamin Kopi, Durian, Pepaya, Pisang dan jenis Kayu
lainya ( dapat dicek kelokasi).
Sepengetahuan kami, H.
Mansyur selaku pemilik Hutan Hak telah menempuh upaya-upaya untuk melaksanakan
tata usaha kayu pada hutan hak sesuai aturan yang berlaku (Peraturan Menteri
LHK No. 43 Tahun 2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari
Hutan Alam). Dalam proses yang ditempuh
tersebut, pemilik lahan telah menyampaikan rencana penebangan kepada Kepala
Dinas Kehutanan Aceh melalui surat nomor 06/V/2016 tertanggal 16 Mei 2016 dan tanggal
14 Desember 2016, perihal Pemberitahuan Rencana Penebangan dengan dilampiri
salinan bukti kepemilikan/penguasaan tanah.
Surat tersebut juga ditembuskan kepada Balai Pengelolaan Hutan Produksi
(BPHP) Wilayah I Banda Aceh untuk memperoleh hak akses aplikasi SIPUHH (Sistem
Informasi Penatausahaan Hasil Hutan).
Sejak diterbitkannya Izin
Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) Sawmill Hakim Meriah oleh
Gubernur Aceh pada tanggal 18 April 2016, untuk memenuhi kewajiban (sesuai Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor 09 Tahun 2012 tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku
Industri Primer Hasil Hutan Kayu), kami selaku pengelola sawmill telah
menyampaikan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Tahun 2016 dan tahun
2017 kepada Kepala Dinas Kehutanan Aceh.
Kami menganggap Kepala Dinas LHK Aceh dan Gubernur Aceh
telah melakukan kekeliruan yaitu mencabut izin usaha IPHHK dengan melanggar
norma dan standar yang berlaku. Menurut
Pasal 128 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh, tata cara
pengenaan sanksi administratif terhadap pemegang izin pemanfaatan hutan, usaha
industri primer hasil hutan dan peredaran hasil hutan dilakukan sesuai dengan
norma dan standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Dalam hal ini, Pemerintah Pusat telah
menetapkan norma dan standar terkait tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap pemegang izin usaha industri primer hasil
hutan kayu melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 17 Tahun 2009. Berdasarkan
Pasal 12 peraturan tersebut, pengenaan sanksi pencabutan didasarkan kepada hasil pemeriksaan Tim yang dibentuk oleh Kepala Dinas Provinsi dan
hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) apakah terbukti pemegang
izin melakukan pelanggaran, Kepala Dinas Provinsi menerbitkan Surat Peringatan
Pertama hingga Surat Peringatan Ketiga dengan selang waktu 30 (tiga puluh) hari. Sangat di sesalkan, kami
tidak pernah mendapat surat peringatan apapun terkait pencabutan izin.
Dalam hal adanya dugaan pemegang izin melakukan pelanggaran
berupa menadah,
menampung, atau mengolah bahan baku hasil hutan yang berasal dari sumber bahan
baku yang tidak sah (illegal) sebagaimana dituduhkan oleh Gubernur Aceh,
berdasarkan Pasal 13 Permenhut. Nomor 17 Tahun 2009, seharusnya Kepala Dinas
Provinsi meminta Penyidik dan diutamakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
melakukan penyelidikan sesuai ketentuan yang berlaku. Berdasarkan hasil penyelidikan dan apabila
ditemukan cukup bukti dugaan pelanggaran, dilanjutkan dengan penyidikan dan pemberkasan
perkara. Penyidik mengusulkan kepada
Kepala Dinas Provinsi untuk Pembekuan Sementara Operasional (PSO). Dalam
hal ini dapat kami anggap bahwa Gubernur Aceh telah membuat tuduhan dan
mencabut izin usaha Sawmill Hakim Meriah tanpa proses penyidikan dan bukti
keputusan pengadilan.
Selain
dizalimi dengan perlakuan yang melanggar ketentuan perundang-undangan, selama
ini kami juga merasa tidak mendapatkan hak-hak untuk memperoleh
kepastian dalam menjalankan usahanya dan/atau mendapatkan pelayanan dan
pembinaan teknis dari Pemerintah, tak ada kepastian usaha/investasi di Aceh
khususnya di Bener Meriah. Apa yang kami lakukan sebagai bentuk kepedulian
dalam upaya memberi solusi terhadap permasalahan pemenuhan kebutuhan kayu lokal
secara legal sama sekali tidak mendapat apresiasi dari pemerintah.
Kami juga mempertanyakan sikap
Gubernur Aceh yang hanya melakukan pencabutan izin usaha terhadap Sawmill Hakim
Meriah. Faktanya, di Kabupaten Bener
Meriah terdapat beberapa usaha sejenis, seperti CV. Barata Mandiri, KSU. Jingki
Gayo, CV. Runding Bestari, CV. Pondok Indah, dan UD. Sinaku Furniture. Namun kami merasakan perbedaan perlakuan
terhadap izin-izin usaha tersebut,
sehingga menimbulkan kecurigaan-kecurigaan bahwa ada praktik pilih kasih dalam
pembinaan usaha sawmill yang dipengaruhi oleh faktor-faktor kedekatan dan
pertemanan dengan pejabat pemerintah tertentu.
Faktanya, sidak yang dilakukan oleh Gubernur Aceh didampingi oleh Bupati
Bener Meriah yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari laporan Bupati Bener
Meriah sebelumnya dalam kesempatan rapat kerja bupati/walikota se-Aceh. Sidak tersebut juga beraroma tendensius
karena hanya mengarah ke lokasi Sawmill Hakim Meriah saja. Padahal dalam perjalanan menuju ke Sawmill
Hakim Meriah, Tim Gubernur Aceh melewati beberapa usaha sawmill lainnya dengan
kapasitas relatif lebih besar, namun seperti luput dari perhatian tim.
Wassalamualaikum,
wr. wb.
Redelong, 30 Januari 2018
Pimpinan Sawmill Hakim Meriah
Alwin Alfina. ST