Mengenal Sosok Pria Bernama Wak Tar -->

Header Menu

Mengenal Sosok Pria Bernama Wak Tar

Monday, April 9, 2018

Sepintas tidak ada kesan yang istimewa dari sosok pria itu. Bicaranya lepas dan tidak dibuat-buat seperti politisi kebanyakan. Namanya Tarmizi. Namun, di balik sikapnya yang seadanya tersebut tersimpan memori sejarah yang pernah menggoyang bangsa. Wak Tar, demikian kawan-kawannya biasa menyapa, ternyata pernah mengadakan perlawanan terhadap ketidakadilan Jakarta terhadap Aceh di masa konflik. Tak tanggung-tanggung, Wak Tar juga ikutserta dalam gerakan anti-Soeharto ketika Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM).


======================================================================

TARMIZI merupakan putra asli Aceh Besar. Dia dibesarkan di lingkungan Dayah Riyadhussalin pimpinan Abu Daud Zamzami. Dayah ini berlokasi di Blang Iteh, Gampong Babah Jurong, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar.

Informasi yang dihimpun peristiwa.com menyebutkan Tarmizi merupakan anak dari pasangan Muhammad Saleh dan Nazirah. Ayahnya berprofesi sebagai pedagang kaki lima. Sementara ibunya hanyalah seorang petani biasa.

Tarmizi bukanlah anak orang kaya. Dia dibesarkan oleh keluarga yang kehidupannya serba pas-pasan. Tarmizi juga memiliki enam saudara kandung yang sejak kecil telah dilatih oleh orang tuanya untuk bekerja apapun, guna meringankan beban keluarga.

Meskipun berasal dari keluarga sederhana tidak membuat Tarmizi kecil jauh dari didikan agama. Dia bahkan mendapat didikan agama yang kuat sejak kecil di dayah salafi, Riyadhussalin. Hal inilah yang membuat Tarmizi kecil paham benar tentang Islam.

Wak Tar ditempa sedemikian rupa untuk memiliki semangat baja. Dia bahkan harus banting tulang untuk bisa mengenyam pendidikan sejak bangku sekolah. Perjuangan Tarmizi remaja tidak sia-sia. Ia akhirnya berhasil masuk IAIN Ar Ranirry, Banda Aceh, yang merupakan salah satu perguruan tinggi andalan di Aceh. Di institut ini Tarmizi terus mengejar cita-cita kecilnya untuk menjadi wartawan. Cita-cita ini tergolong langka bagi anak-anak yang lahir dan dibesarkan di desa.

Sejak kuliah di IAIN Ar Ranirry, sosok Tarmizi kemudian berhasil melihat ketidakberesan kondisi sosial di Aceh. Dia bersama rekan-rekannya bahkan menganggap kondisi Aceh jauh dari kata ideal. Hal inilah yang membuat rasa kritis dan jiwa perlawanan Tarmizi muda bergelora. Lelaki ini kemudian mulai terlibat gerakan-gerakan pemuda dan mahasiswa yang sedang menggalang kekuatan dan perlawanan untuk mengubah keadaan.

Tarmizi dan beberapa temannya kemudian mendirikan kelompok studi yang bergerak di lingkungan kampus. Ide tersebut lahir setelah melihat sikap apatis mahasiswa terhadap kondisi sosial di luar kampus. "Kampus seperti dunia tersendiri yang tidak berhubungan dengan keadaan sosial yang sedang terjadi di luar sana," ujar Tarmizi berkisah.

Melawan Soeharto

Tahun 1996 merupakan saat-saat krusial bagi Tarmizi dan kawan-kawan mahasiswa lainnya. Mereka melakukan konsolidasi dan menggalang kekuatan untuk ikut serta dalam gerakan anti-Soeharto. Bagi mahasiswa di Aceh, gerakan ini tergolong nekat. Pasalnya, apa yang dilakukan Tarmizi dan kawan-kawan beresiko besar. Nyawa mereka bahkan ikut terancam karena Aceh saat itu diterapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Ini pula yang menyebabkan banyak mahasiswa tidak berani ikut dalam gerakan anti-Soeharto.

Tidak hanya itu, Tarmizi yang tercatat sebagai mahasiswa justru mengabaikan tugas-tugasnya di kampus. Di saat para mahasiswa sibuk dengan pengurusan SKS, Tarmizi justru terlibat dalam pendampingan korban kekerasan akibat konflik bersenjata bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. Saat-saat seperti itu, Tarmizi lebih memilih fokus mendampingi para istri yang kehilangan suaminya karena ditahan di pos-pos militer.

Rasa kepeduliannya yang tinggi atas kondisi sosial politik di Aceh turut membuat Tarmizi ikut serta melahirkan lembaga Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat atau dikenal SMUR. Mereka juga ikut menggelar "Mimbar Bebas" di Universitas Syiah Kuala sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan Jakarta terhadap Aceh.

Perlawanan Tarmizi dan kawan-kawan semakin nyata setelah menolak terbentuknya Komando Daerah Militer (Kodam) di Aceh. Dia juga terus aktif melawan pemerintah dengan membentuk organisasi gerakan yang diberi nama Forum Rakyat (FR). Di organisasi yang dibentuk ini, Tarmizi dan kawan-kawan terus melakukan konsolidasi dan penggalangan sampai ke daerah di bawah ancaman penangkapan dan penculikan oleh serdadu RI saat itu.

Perjuangan Tarmizi dan kawan-kawan tidak hanya berhenti setelah Soeharto lengser. Aceh yang beberapa waktu kemudian dilanda bencana tsunami, turut menggerakkan hati Tarmizi untuk kembali berbuat. Dia lantas mendirikan Aceh People Forum (APF), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kemanusiaan, pendidikan dan perempuan.

Lembaga bentukan Tarmizi dan kawan-kawan ini bertujuan untuk membantu korban konflik dan korban tsunami di Aceh. "Kehidupan ini akan terasa bermanfaat saat kita tahu apa yang dapat kita lakukan untuk membantu saudara-saudara kita di saat memerlukan pertolongan kita," kata Wak Tar.[]*